Angin bergerak cepat mengitari
hutan, gunung dan laut. Hawa dingin yang dibawanya membuat beberapa hewan hutan
semakin merapatkan tubuhnya. Beberapa lembar daun jatuh berguguran. Uap putih
membumbung ke langit, butiran-butiran kecil menghiasi permukaan laut.
Derak-derak pohon bersahutan menyelingi teriakan binatang malam. Malam yang
tenang itupun berubah seketika menjadi penuh gejolak seiring kedatangan angin
yang seolah hendak meluapkan amarahnya.
“Wahai kawan-kawan, mengapa
kalian masih tenang-tenang saja sementara kerusakan semakin hari semakin
menjadi? nada-nada tinggi menggelegar ketika angin mengucapkan kalimat itu.
“Tenanglah hai pengelana! Apa
yang membuatmu jadi tak tenang seperti ini?”
Gunung megirimkan kehangatan
dengan uap putih kawahnya, bermaksud hendak menenangkan angin. Tapi si lincah
itu malah semakin cepat bergerak dan berputar menghamburkan butiran-butiran
putih itu ke segala arah. Seketika langit pun berubah menjadi keruh. Buih di
lautpun semakin banyak dan bergerak pasrah dipermainkan angin.
“Bagaimana aku bisa tenang
sementara setiap hari aku menyaksikan berbagai kebiadaban terjadi di bumi ini.
Bagaimana aku bisa diam sementara makhluk-makhluk bengis semakin meraja rela
sesuka hati? Dan mengapa kalian hanya bisa termangu sementara semua itu terjadi
di atas punggung kalian sendiri?”
Angin bergerak semakin cepat
mengangkat butiran-butiran di permukaan laut yang telah berubah menjadi ombak
pasang bergulung-gulung.
“Memangnya apa yang telah kau
lihat?”
Gunung masih berusaha mengendalikan sahabatnya
itu. Sementara bongkahan batu kapur mulai menyublim menjadi debu-debu halus.
“Buka mata kalian! Pandanglah
ke arah gurun. Dan lihat apa yang dilakukan makhluk-makhluk tak tahu terima
kasih itu disana!
Tak ada yang menyahut. Suasana
menjadi hening. Hanya gemuruh laut pasang yang menyambut seruan itu. Setelah
beberapa detik berlalu angin pun melanjutkan dengan nada yang sama sekali tak
berubah.
“Lihatlah bagaimana
bangsa-bangsa barbar menindas dan menjajah sesamanya yang lemah. Saksikan bagaimana
kejamnya mereka menembak dan meluncurkan rudal-rudal pembunuh. Merampas tanah
suci yang mereka klaim sebagai milik mereka.Dengarlah pilunya jerit tangis
anak-anak dan wanita yang kehilangan orang tercinta, Juga deru pesawat pembom
serta tank-tank berat menghancurkan rumah serta fasilitas penting lainnya.
Membuat puluhan nyawa tak berdosa terlantar terlunta-lunta. Tak ada air susu
yang tersisa untuk bayi-bayi mereka, apalagi makanan untuk sekedar menyambung
nyawa. Sementara di tempat lain, saksikan bagaimana megahnya orang-orang
berpesta. Dengan baju-baju mewah dan makanan melimpah dibawah sorotan
lampu-lampu dansa. Penat, gerah dan panas merebak ke udara menjawab kata-kata
angin itu.
Seketika laut semakin
mengganas, sementara hutan entah berapa kali membuat retakan pada tanahnya,
dahan-dahan semakin deras berjatuhan menghujam bumi. Hanya gunung yang masih
tampak tenang. Leleran belerang nampak menjalar jaatuh ke sungai. Tapi yang
pasti, tak ada satu pun kata yang terdengar diantara mereka.
“Mengapa kalian hanya membisu
seperti batu? Apakah penglihatan kalian telah menjadi buta, atau telah tulikah
pendengaran kalian semua? Kemana kekuatan yang Tuhan berikan kepada kalian.
Ataukah kalian takut dengan mekhluk-makhluk tak beradab itu?” “Tidak!!!
Seketika semua tersentak mendengar teriakan itu. Laut rupanya sudah tak dapat
menahan dirinya. Ombak pasang semakin besar dan meninggi. Gemuruhnya
menggelegar ditengah deru angin yang berputar.
Kilatpun menyambar beberapa pohon besar yang
langsung hangus terbakar. “Jangan katakan itu padaku. Aku diam bukan tak dapat
berbuat apa-apa. Tapi aku berharap suatu saat mereka akan insyaf dan menyadari
kesalahan yang mereka lakukan itu.” . “Ha ha ha. Apa yang kau harapkan dari
mereka? Suatu saat mereka akan bertaubat? Mustahil! Telah ada penghalang pada
mata dan ada pula sumbat pada telinga yang membuat mereka tak dapat lagi
mengetahui kebenaran. Hati mereka pun telah dikunci mati karma mereka dengan
terang-terangan telah melanggar segala ketetapan Tuhan. Jika kau masih terus menaruh
harap, tunggulah sampai seluruh air yang kau punya menjadi darah.” Angin malah
mengejek melihat reaksi laut yang demikian itu. “Hentikan omong kosong itu.
Sekarang pun aku sanggup melahap mereka semua hingga tak ada satu pun yang
tersisa.” “Buktikan kata-katamu itu!” “Tunggu!!” Serentak angin dan laut
terlonjak. Mereka berpaling mencari sumber teriakan itu. Namun rupanya mereka
tak perlu bersusah payah. Gunung yang menjulang itulah penyebabnya, dan kini ia
telah memerah berlumuran lahar panas yang keluar dari retakan-retakan pada
tubuhnya. “Biar kubantu kau laut. Biar kubakar wajah-wajah sombong itu hingga
hangus dak berbentuk, Biar mereka rasakan akibat perbuatan mereka itu. Biar
mereka tak dapat berbuat sewenang-wenang lagi.” “Tapi mengapa,,,,? Laut rupanya
takjub sekaligus heran menyaksikan reaksi gunung yang sama sekali tak terduga
itu. Tapi sebelum kata-kata itu selesai, gunung malah memotongnya “Aku muak
melihat ini semua. Aku jemu menunggu dan menjaga mereka sementara mereka dengan
seenaknya malah berusaha menghancurkanku.” Hanya itu yang bisa dikatakan oleh
gunung. Dan kata-katanya itu segera berubah menjadi hujan abu. Angin bergerak
semakin cepat dan kini ia berputar-putar diatas hutan. “Bagaimana denganmu
hutan? Masihkan kau memberikan maaf pada mereka yang telah membakar dan
membabat tubuhmu tanpa ampun? Masihkah kau memberi iba pada mereka yang dengan
terang-terangan hendak memusnahkanmu?” Hutan tak berkomentar.
Hanya tanah-tanah terbelah yang
menjadi jawaban atas pertanyaan itu. Sesaat kemudian longsorpun menjalar
membawa ranting-ranting hangus. “Akan kubuat mereka bernasib seperti ini.”
Serunya seraya menghempaskan ranting hangus itu ke dalam lubang dan menimbunnya
dengan tanah. “Baiklah teman-teman. Mari kita beri pelajaran pada mekhluk-makhluk
tak tahu terima kasih itu. Biar mereka tahu akibat dari yang telah mereka
lakukan selama ini.” Angin tiba-tiba merubah hembusannya menjadi topan yang
menyebar ke segala arah. Sementara laut menggulung pasir dan daratan dengan
badai ganas. Hutan pun tak tinggal diam. Di tenggelamkannya rumah-rumah yang
berada di sekitarnya dengan longsoran tanah. Sementara gunung meledak dengan
kekuatan dahsyat yang tak disangka-sangka. Api menjalar di mana-mana.
Menghanguskan apa saja yang dilaluinya. Gelegar ledakan dan halilintar menyatu
dengan jerit tangis dan teriakan. Jutaan menusia berhamburan tak tentu arah.
Berusaha menyelamatkan diri dari kejaran api dan badai tsunami yang datang
dengan tiba-tiba. Tapi air bah dan lahar itu bukanlah lawan yang sebanding dengan
mereka. Segera saja tubuh-tubuh yang ketakutan itu dilahap dengan buasnya. Tak
peduli lelaki, wanita, anak-anak, ataupun orang tua. Bumi rata dengan tanah.
Tak ada rumah, Tak ada gedung mewah, yang ada kini hanyalah mayat-mayat
bergelempangan. Sementara yang masih hidup, berusaha menyelamatkan nyawanya.
Diantaranya adalah seorang ibu yang pontang-panting menyelamatkan diri dari
kejaran air laut di belakangnya. Sementara kedua tangannya mendekap sesosok
bayi merah yang tak henti-hentinya menangis. Ibu itu berlari jaatuh bangun
diantara mayat-mayat yang berserakan. Sementara badai terus mengejar. Tak kenal
ampun ingin merenggut nyawanya.
Hingga sampailah ibu itu pada
batas kemampuannya. Ia tak sanggup berlari lagi. Si bayi terlepas dari
gendongannya dan jatuh ke tanah. Sementara laut semakin dekat ke arahnya.
Melihat itu si ibu berusaha bangkit kembali. Tapi rupanya ia telah kehabisan
tenaga. Ia pun hanya bisa mengangkat tangan dan berdoa. “Ya Tuhan. Apa pun
kahendakmu akan kuterima dengan rela. Tapi kumohon, jangan ambil nyawa anakku
sementara aku masih hidup di sisinya.” Setelah memanjatkan doa itu si ibu rebah
ke tanah. Sementara si bayi masih bertahan dengan tangisannya. Laut segera
bersiap melahap mereka ketika tiba-tiba terdengar suara menyerunya. “Hentikan!
Jangan kalian teruskan!” Laut menghentikan laju badainya. Gunungpun tak beraksi
lagi. Sementara hutan menghentikan longsoran tanahnya. “Siapa kau?” Seru mereka
serempak. Sumber suara itu kembali berujar dari atas langit. “Aku membawa pesan
Dari Tuhan untuk kkalian. Apa yang kalian lakukan itu belum waktunya.” “Apa
katamu? Kami rasa sudah waktunya untuk memberi pelajaran pada mereka.” Angin
membela diri mewakili sahabat-sahabatnya. “Tuhan telah menentukan kapan mereka
akan binasa. Tuhan pula yang menentukan kapan kehidupan ini akan berakhir. Tak
ada hak bagi kalian untuk mendahului ketetapan itu? Lagipula apakah kalian
sudah lupa. Bahwa Tuhan maha pengasih, maha penyayang? Tidakkah kalian lihat
betapa lemah bayi yang masih menyusu pada ibunya? Juga betapa khusyu`nya mereka
yang berdo`a sambil menyebut nama-Nya? Tuhan tak akan menurunkan azabnya,
selama masih ida itu semua. Lalu mengapa kalian mengambil alih posisi seolah
kalian menjadi Tuhan? Padahal kalian adalah juga hamba ciptaan-Nya yang juga
haarus tunduk pada ketetapannya?” Mereka semua diam. Tak ada yang berani
membantah. Kini tahulah mereka bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah
semata-mata karana kekesalan mereka pada ulah sebagian manusia. Mereka juga
menyadari, bahwa tuhan tak merestui perbuatan mereka itu. Kini mereka hanya
bisa tunduk, pasrah pada apa yang akan Tuhan lakukan terhadap mereka.
BY:HABY(Vdic) XII-IPA2